Kamis, 10 Februari 2011

Diskusi Kemendiknas-ICW-TII :Publik Melawan Korupsi dan Membangun Demokrasi di Sekolah


Kepala Sekolah Masih Jadi Perpanjangan Tangan Birokrasi

Sekretaris jenderal Transparency International Indonesia, Teten Masduki menilai hingga kini kepala sekolah masih menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Seringkali kepala sekolah lebih melayani keinginan Kepala Dinas sebagai atasannya agar proyek sekolahnya lancar. "Kepala sekolah lebih melayani atasannya daripada kesejahteraan guru," ungkap mantan guru ini.

Kemudian ia menilai seringkali pengangkatan kepala sekolah tak lepas dari unsur kedekatan daripada profesionalitas. "Kedekatan juga perlu agar dana BOS lancar," paparnya. Kondisi ini menurutnya harus diubah. Ia mencontohkan kebijakan Ade Manadin, Kepala Sekolah SD Tegal Gede 2, Garut, di sekolahnya. "Perubahan bisa dimulai di sekolah dengan dijalankannya demokrasi," ungkapnya.

Melalui demokrasi di sekolah inilah, menurutnya mampu memangkas dominasi kepala sekolah dan memperkuat dewan guru dan Komite Sekolah. "Akan tetapi kadang guru jadi apatis karena penilaian guru oleh Dinas Pendidikan juga tak lepas dari kepala sekolah sebagai mata-mata Kepala Dinas," paparnya.

Maka untuk menciptakan Manajemen Berbasis Sekolah yang seutuhnya, peran pemerintah harus dikikis seminimal mungkin. Justru peran masyarakat jauh di perbesar. "Kita lihat di daerah-daerah dengan peran masyarakat, sekolah jadi jauh lebih baik," ungkapnya.

Kemudian pengangkatan Kepala Sekolah juga harus dipertimbangkan dengan asa profesionalitas dengan persyaratan ketat. "Manajemen Berbasis Sekolah menurut saya perlu dilanjutkan akan tetapi akan lebih baik jika kepala sekolah bukan kepanjangan birokrasi pendidikan, Sekolah harus dihentikan sebagai mesin ATM birokrasi," pungkas Teten.
source:Republika

Pemerintah Dukung Partisipasi Aktif Wali Murid dan Guru

Pemerintah terus mendukung peran aktif dari wali murid dan guru di dalam sekolah. Bahkan ada berbagai aturan yang mengharuskan dibentuknya dewan guru atau pendidik dan komite sekolah.
"Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan menyebutkan APBS harus disetujui oleh dewan pendidik, baru diserahkan ke Komite Sekolah, jadi kalau ada kepala sekolah langsung memberikan ke komite sekolah agar di tandatangani itu jelas salah," tegas Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu (9/2).

Ia menyatakan kadang ketidaktahuan akan peraturan ini terjadi karena guru dan komite sekolah bersikap apatis. Apalagi guru misalnya dibawah tekanan kepala sekolah. Ia mengakui seringkali kepala sekolah dipandang sebagai perpanjangan birokrasi, karena sekolah itu amat banyak proyek-proyek. "Ini menyebabkan kepala sekolah lebih tertarik melayani Kepala Dinas dibandingkan mensejahterakan guru," ucapnya.

Namun bagi Fasli dengan adanya komite sekolah dan dewan guru, dominasi kepala sekolah di institusi pendidikan jadi terbatas. Hal ini juga sebagai pembelajaran demokrasi di sekolah. Jadi menurutnya ada beberapa titik yang perlu diperkuat.

Titik itu antara lain, dewan guru yang independen, lalu komite sekolah yang bisa mengawasi, kepala sekolah yang terbuka soal anggaran dana dan proyek sekolah, dan kemudian Dinas Pendidikan yang mengerti pendidikan. "Apalagi ada aturan yang akan memberikan persyaratan pengangkatan kepala sekolah dan kepala dinas saat ini," ucapnya.

Kemudian menurut Fasli untuk makin memperkuat kekuatan komite sekolah, sedang dipikirkan cara pengangkatan ketua komite sekolah dengan lebih demokratis. "Yaitu melalui proses pemilihan, saya pernah melihatnya di Chicago dan Kanada, bahkan disana peran komite sekolah amat besar," paparnya.

Bicara soal korupsi menurutnya tak lepas dari berita Bantuan Operasional Sekolah yang diberitakan sering diselewengkan. Menurutnya saat ini berdasarkan penelitian, ada sekitar tiga persen sekolah di Indonesia yang melakukan penyelewengan. Akan tetapi sisanya bisa dibilang menjalankan dana BOS sesuai aturan. "Jangan sampai dana BOS ini ditarik, karena yang akan senang malah para birokrat," pungkas Fasli.
sumber:Republika


Partisipasi Wali Murid Dinilai Bisa Kikis Korupsi di Sekolah

Korupsi ialah kata yang amat menakutkan bagi masyarakat. Apalagi saat ini korupsi bukan hanya terjadi di tingkat kementerian, tapi sampai ke halaman sekolah. Satu-satunya cara untuk mengikis korupsi di sekolah ialah melalui keterlibatan aktif orangtua murid serta guru.

"Kami yakin korupsi takkan bisa diberantas oleh KPK semata, Korupsi bisa diberantas jika masyarakat menolak untuk melakukan korupsi dan menjadi budaya untuk menolak. Dan ini bisa dijalankan mulai dari sekolah," ungkap Koordinator Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, di peluncuran buku 'Sekolah Harapan, Sekolah Melawan Korupsi' dan Diskusi Publik Melawan Korupsi dan Membangun Demokrasi di sekolah, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu (9/2).

Bagi Danang, desentralisasi sekolah yang digulirkan Pemerintah memang menciptakan kemandirian. Akan tetapi program Manajemen Berbasis Sekolah ini justru menciptakan relasi tak berimbang antara Kepala Dinas dan Kepala sekolah dengan guru dan wali murid. Maka tidak ada langkah lain kecuali menyeimbangkan peran antara Kepala Sekolah dengan guru dan Wali Murid

Oleh karena itu, menurut Koordinator Monitoring dan kebijakan Publik ICW, Ade Irawan, orangtua murid dan guru jangan diam saja jika tidak dilibatkan dalam pembuatan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Harus ada peran aktif dari keduanya agar proses pembuatannya jelas dan tahu dananya dipergunakan untuk apa. "Kita sering mendengar dan meilhat melihat guru kadang apatis dan orangtua tak peduli dan hanya tahu yang penting anak pintar saja," ungkapnya.

Padahal banyak konsekuensi yang akan terjadi jika korupsi berjamaah ini dilakukan di sekolah. "Sekolah akan jadi pasir hisap, berapapun akan hilang, tapi bukan untuk kepentingan peserta didik," ucapnya. Kemudian korupsi juga membuat sekolah menjadi mahal, tapi malah kualitasnya buruk. Padahal anggaran pendidikan terus bertambah. "Selain itu menciptakan gayus-gayus baru," tegasnya.

Melalui partisipasi komite sekolah dan guru dalam pembuatan anggaran sekolah atau disebut APBS Partisipatif, maka korupsi pasti akan hilang. Hal ini benar-benar dipraktekkan oleh Ade Manadin, Kepala Sekolah SDN Tegal Gede 2, Kabupaten Garut. Saat memulainya tahun 2004, ia yang awalnya guru di SD tersebut hanya dibantu kepala sekolah dan komite sekolah.

Upayanya untuk mengembangkan APBS Partisipatif dibenci oleh Kepala Sekolah di sekitarnya. "Saya sepakat pendidikan bukan hanya milik kaum kota, tidak ada dispalitas antar desa dan kota, makanya saya punya tekad memperbaiki sekolah," ucapnya.

Ia ingin agar sekolah tersebut bisa berubah, minimal nyaman bagi siswa. Sekolahnya yang tadinya berlantaikan tanah, lalu diubah menjadi berlantai. Meski dengan dana sekitar Rp 11 juta dipotong Rp 8,1 juta untuk guru honor jadi hanya sisa Rp 2,9 juta. "Saat pembangunan seluruh ibu-ibu dan bapak-bapak wali murid ikut mengecor bareng," paparnya.

Saat ia menjadi Kepala Sekolah pun, ia mendorong guru dan komite Sekolah untuk ikut dalam pembuatan APBS. "Seluruh dana BOS yang sampai kami jelaskan sedetail mungkin. Tidak ada potongan sama sekali, dana BOS yang kami dapat langsung diumumkan ke guru dan peruntukkannya telah ada di APBS," ungkapnya.

Padahal di sekolah tersebut dari 22 guru yang ada, 18 diantaranya guru honorer. "Guru tidak ada yang kaya, gaji terkecil Rp 500 ribu dan tertinggi Rp 750 ribu," pungkasnya.
sumber :Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentar Bapak/Ibu ,Saudara/i dan adik-adik.Untuk melihat komentar lainnya, klik "Muat Yang Lain".