Jumat, 13 April 2012

Semangat Konstitusi dan Tanggung Renteng Pembiayaan Sekolah Gratis

Sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan dalam rangka menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka pemerintah Republik Indonesia memberlakukan kebijakan sekolah gratis serentak di seluruh Indonesia mulai Januari 2009.Dengan kebijkan ini , maka semua sekolah SD reguler dan SMP reguler di Indonesia tidak diperkenankan lagi menarik dana kepada orang tua /wali peserta didik karena pemerintah telah memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ).

Selain dimotivasi oleh amanat konstitusi UUD 1945, pelaksanaan sekolah gratis juga dilandasi oleh Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diatur dalam PP 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan serta beberapa peraturan pelaksanaan di bawahnya.Dengan landasan hukum ini, maka SDN Negeri Polisi 4 Bogor yang sebelumnya berstatus SDN Mandiri berkategori A dan diperkenankan menarik dana orang tua/wali peserta didik dibawah payung hukum Perda /Perwali , atomatis berubah statusnya menjadi SDN reguler gratis . Adapun untuk sekolah SD/SMP yang berstatus RSBI/SBI masih diperkenankan menarik dan mengelola dana orang tua/wali peserta didik

Kebijakan sekolah gratis berikut penganggaran dana BOS sudah pasti dirumuskan dengan matang oleh pemerintah sehingga diharapkan tidak menemui persoalan persoalan berarti saat pelaksanaannya di pusat ,daerah hingga sekolah.Dengan begitu cita cita mulia sekolah gratis untuk pemerataan kesempatan bersekolah bagi semua kalangan masyarakat Indonesia melalui wajib belajar sembilan tahun yang bermutu dan mencerdaskan anak bangsa benar-benar tercapai.

Meskipun besaran pembiayaan bukanlah satu-satunya faktor penentu kesuksesan pelaksanaan program sekolah gratis ,tapi tak dapat dipungkiri bahwa dari titik inilah sesungguhnya persoalam-persoalan pelaksanaan program sekolah gratis bermula.

Seiring semangat desentralisasi pengelolaan sumber daya daerah pada era otonomi daerah, maka PP 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menambah kekurangan dana BOS pusat .
  • Secara tesktual kita menduga sepertinya pemerintah pusat dari awal sudah menyadari bahwa BOS pusat yang dijatahkan ke siswa dan sekolah belum mampu menutupi semua kebutuhan biaya operasional sekolah yang bermutu.
  • Rezim pemerintah pusat cendrung gembar gembor sekolah gratis dengan biaya tanggung renteng dengan pemerintah daerah sehingga kebijakan sekolah gratis dari pusat dimaknai oleh sebagian pemda ,sekolah dan masyarakat sebagai kebijakan pro rakyat yang serba tanggung.Artinya kalau memang rezim pemerintah pusat bersungguh sungguh menggratiskan pendidikan dasar bermutu untuk mencerdaskan bangsa (bukan sekedar pemerataan akses pendidikan) ,maka seharusnya untuk tahap awal pemerintah pusat menanggung semua biaya operasional pendidikan tanpa perlu tarik ulur dengan pemerintah daerah
  • Namun karena sudah menjadi program nasional yang diamanatkan konstitusi dan terlanjur diamini publik sebagai sebuah kebijakan pro rakyat yang tak perlu dikritisi, maka pemerintah daerah menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat tersebut dengan kesediaan memberikan BOS daerah untuk sekolah di daerah mereka ,yang besarannya sesuai tingkat keseriusan dan kemampuan keuangan masing-masing daerah.
  • Dari sinilah mulai terasa ketidakadilan akumulasi pendanaan pendidikan yang dirasakan peserta didik antar daerah di Indonesia.Sebagai contoh , selain mendapat jatah Rp 400.000/siswa/tahun dari BOS pusat ,pemerintah DKI mengalokasikan BOS daerah sebesar Rp 720.000/siswa SD/tahun, jauh melampaui BOS daerah yang didapatkan siswa SD di kota Bogor sebesar t Rp 25.000/siswa/ tahun dari pemerintah Propinsi Jawa Barat+ Rp 100.000/siswa/tahun dari pemerintah Kota Bogor . Padahal kita tahu karakteristik kebutuhan atas mutu pelayanan pendidikan dan biaya per personal siswa antara DKI dengan kota Bogor tidaklah jauh berbeda, mulai kebutuhan biaya satuan foto copy, ATK ,satuan listrik, satuan ujian dan satuan biaya operasional lainnya.
Tulisan ini tidak dalam kapasitas menghitung kepantasan besaran dana BOS yang dialokasikan pemerintah dari sisi karakteristik kebutuhan masing-masing sekolah, tapi lebih kepada mempertanyakan rumusan awal pembiayaan operasional sekolah gratis (BOS ) oleh pemerintah.

Dengan mengacu kepada Buku Panduan BOS 2009 , pemerintah pusat mengalokasikan dana BOS sebesar Rp 400.000/siswa /tahun di daerah kota, dan sebesar Rp 378.000/siswa/tahun untuk wilayah kabupaten.Jadi total dana BOS yang diterima sekolah pertahun adalah Rp 400.000 / 378.000 x jumlah siswa di sekolah masing-masing .Penjatahan dan rumusan ini sama untuk semua sekolah SD dari Sabang sampai Merauke.(catatan :pemerintah menaikkan BOS pusat tahun 2012 sebesar 40 persen)
  • Sampai saat ini belum jelas dasar perhitungan yang dipakai pemerintah sehingga biaya personal tahunan per siswa jatuh pada besaran angka tersebut.
  • Riset apakah yang mendasari sehingga pemerintah menyimpulkan bahwa biaya operasional sekolah bisa disederhanakan dalam rumusan jumlah siswa dikali biaya personal per siswa.
  • Mungkin saja kebijakan pemerintah menyamaratakan penjatahan dana BOS ini adalah dalam rangka memenuhi unsur keadilan pemerintahan pusat kepada semua pemerintah daerah dan memudahkan penganggarannya dalam RAPBN,namun rumusan yang tidak mempertimbangkan karakteristik,tantangan dan kebutuhan pembiayaan pendidikan yang beragam antar masing masing daerah dan sekolah terbukti membuat pelaksana pendidikan di daerah dan sekolah kebingungan, apalagi cakupan 13-14 poin pembiayaan dana BOS yang begitu luas membuat masyarakat terkecoh seolah olah dana BOS yang dijatahkan mampu memenuhi semua kebutuhan sekolah sebagaimana yang diuraikan, mulai biaya operasional pokok seperti ATK,honorer,biaya ujian,listrik,daya air hingga rehab sekolah,pembelian komputer ,genset dan perahu.
  • Juga tidak jelas apakah besaran biaya tersebut didesain akan mampu melayani dan memenuhi 8 standar mutu pendikan nasional atau sekedar memenuhi standar pelayanan pendidikan pokok minus mutu memadai.
Terbukanya peluang masyarakat untuk menyumbang kepada sekolah sebagaimana disebutkan dalam buku panduan BOS tidak disertai dengan petunjuk teknis yang rinci sehingga pelaksanaanya tergantung improvisasi masing masing komunitas sekolah.
  • Ada sumbangan masyarakat melalui keropak yang diragukan keefektifannya.
  • Ada penggalangan sumbangan melalui kesepakatan bersama komite sekolah yang sering menuai kritik dari komunitas sekolahnya sendiri baik karena diplintir media atau pihak lain yang kurang mengerti duduk persoalannya .Kelangsungan mekanisme sumbangan semacam ini pun sangat tergantung kepada persepsi masyarakat terhadap lembaga sekolah dan komite sekolah dalam mengelola isyu-isyu kebijakan/pelayanan pendidikan yang berlangsung di dalam lingkungan sekolah
  • Ada sumbangan bulanan melalui koordinator kelas dengan dalih uang kas kelas yang menjadikan lembaga kelas/ sekolah kurang berwibawa, karena tak jarang uang kas dipakai untuk sekedar biaya foto copy yang sudah dianggarkan dalam BOS.
  • Tak sedikit sekolah yang menyiasati penarikan sumbangan dari orang tua dengan menawarkan program sekolah billingual mandiri,atau pun menarik iuran atas pelayanan pembelajaran yang memanfaatkan sarana belajar tertentu, misal lab komputer dan lab bahasa yang mengesankan komersialisasi prasarana pendidikan di sekolah negeri reguler gratis
Keseriusan pemerintah dan legislatif dalam menyukseskan program pendidikan dasar gratis inipun dipelihatkan dengan menganggarkan lebih dari 20 persen APBN setiap tahunnya untuk bidang pendidikan.Tapi sekali lagi kita manyayangkan alokasi tersebut tidak dititikbertakan kepada pembiayaan peningkatan mutu pendidikan, tapi besaran anggaran tersebut mengcover kebutuhan semua aspek pembiayaan pendidikan, mulai gaji guru, penelitian dan pengembangan, sertifikasi , sarana dan prasarana standar pendidikan dll.Sehingga pos-pos kebutuhan pendidikan yang ada saling berebut perhatian

Jadi tidak aneh rasanya jika kita mendapati kabar miris banyak ruang kelas , di sekolah sekolah DKI sekalipun pun yang tidak layak dan nyaris rubuh sehingga sangat membahayakan keselamatan para siswa dan guru .Fenomena semacam ini berlangsung ketika program sekolah gratis gencar dikampanyekan.Padahal kalau potensi  historis masyarakat Indonesia yang terkenal dengan sikap kegotong-royongannya dalam membangun gedung/sarana pendidikan ,baik sekolah ataupun rumah-rumah ibadah sejak dahulu dapat diberdayakan, maka kejadian sekolah rusak atau rubuh di Indonesai dapat diminimalkan.

Kalau kita cermati kebijakan sekolah gratis juga telah membuat sebagian pengelola pendidikan di tingkat daerah tidak tegas dalam mengawasi/mensupervisi praktek keliru pendidikan di lingkungan sekolah,diantaranya praktek ketidaktransparanan dana BOS yang dikelola sekolah yang ditengarai akan membuat alokasi dana BOS tidak efesien dan tidak tepat sasaran, padahal sudah banyak peraturan yang mewajibkan dana BOS dibuka kepada publik dan komunitas sekolah .Transparansi dana BOS akan memicu kepedulian publik dan komunitas sekolah dalam pemetaan permasalahan dan kebutuhan di sekolah, perencanaan dan pelaksanaan program di sekolah.Dan tulisan  yang (terkesan)  meraba-raba kemampuan dana BOS  seperti ini pun  tak perlu ada.

Pengelola pendidikan di daerah enggan mengklarifikasi beberapa praktek di sekolah yang masih menjadi debat  publik .Persoalan penjualan buku paket dan LKS di sekolah yang  menuai kontroversi saban tahunnya karena kurangnya komunikasi sekolah atas keberadaan dan kapasitas buku BOS .Penetapan iuran untuk pembiayaan pembelajaran luar kelas , biaya perpisahan, biaya sukses UASBN dll yang disikapi beragam oleh orang tua murid karena perbedaan persepsi dan kalkulasi diantara sekolah dan orang tua .

Apakah keengganan (tutup mata) pengelola pendidikan di daerah atas beberapa persoalan di sekolah tersebut karena belum seriusnya pemerintah daerah menambah dengan optimal dana BOS (biaya operasional pendidikan gratis ) yang bermutu untuk sekolah- sekolah di daerahnya ?,entahlah.Padahal, jika memang praktek  semacam itu dimaksudkan selain untuk mutu pembelajaran sekaligus sebagai suplemen penunjang kinerja personal penyelenggara pendidikan  di sekolah ,maka  legalkan saja praktek tersebut (dalam batasan-batasan tertentu).Mungkin publik lebih bisa  memaklumi, dengan begitu relasi sekolah dan orang tua bisa lebih harmonis luar - dalam.

Kalau memang saat ini kemampuan keuangan sebagian pemerintah daerah terbatas menyokong program sekolah gratis bermutu di daerahnya , maka sebaiknya pemda dan legislatif di daerah proaktif membuat payung hukum khusus ( Perda atau Perwali) yang mengatur mekanisme sumbangan masyarakat yang berekonomi lebih kepada lembaga sekolah .Ketika pemerintah pusat dan daerah benar-benar sudah mampu membiayai semua aspek pendanaan pendidikan gratis yang bermutu, maka perda sumbangan itupun dapat dicabut.

Program sekolah gratis adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin ditarik mundur karena sudah menjadi  amanat konstitusi .Beberapa aspek perencanaan dan pelaksanaan program sekolah gratis perlu dibenahi  .Perumusan dan pembagian tanggung jawab pembiayaan sekolah gratis yang terkesan masih tanggung renteng perlu dikaji ulang.Semua usaha  tersebut diimaksudkan demi mewujudkan cita - cita  sekolah gratis yang bermutu.
(MYusuf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentar Bapak/Ibu ,Saudara/i dan adik-adik.Untuk melihat komentar lainnya, klik "Muat Yang Lain".